ABSTRAK
Pendidikan dapat dipandang sebagai upaya
preventif bagi berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun secara empiris
jelas tidak cukup mengingat faktor pressure sosial politik yang dapat juga
mendistorsi peran normatif tersebut. Belakangan ini memang berkembang wacana
akan perlunya pendidikan karakter, namun jika dilihat secara substantif
pendidikan kita seperti tertuang dalam Undang-undang no 20 th 2003 sebenarnya
adalah pendidikan karakter, jadi pendidikan karakter ya pendidikan. Yang lebih
penting adalah bagaimana menciptakan karakter pendidikan bangsa dapat
diselenggarakan dengan menjunjung tinggi kemandirian dan kejujuran, beberapa
kasus yang terjadi justru kebijakan pendidikan tertentu (seperti UN)
telah banyak mendorong sikap dan prilaku ketidak jujuran yang dapat menjadikan
orang terbiasa dengan kecurangan yang nota bene merupakan potensi bagi
berkembangnya korupsi atau paling tidak pengabaian terhadapnya. Dengan
demikian pendidikan merupakan sarana atau bisa juga dipandang sebagai
suatu respon yang tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui
reformasi sosial yang pada gilirannya dapat menjadi pemicu bagi terjadinya
reformasi kelembagaan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fenomena korupsi bukan hal yang
baru, mungkin telah ada sejak awal sejarah manusia kecuali pada masa yang
sangat primitif (Alatas, 1983), dimana secara konsep prilaku belum dikenal
meskipun gejalanya bisa saja sudah ada. Korupsi secara historis merupakan konsep
dan prilaku menyimpang secara hukum, ketika secara sosial polotik telah terjadi
pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, namun pada masa
kekuasaan dikaitkan dengan hereditas dan pelimpahan wewenang dari yang maha
kuasa (kekuatan supranatural) dan atau karena kepahlawanan (knight) yang
diikuti dengan perasaan berhak atas keistimewaan (dengan dukungan diam-diam
dari rakyat) maka terdapat kecenderungan untuk melihat bahwa pemanfaatan
berbagai sumberdaya finansial dan non finasial untuk kepentingan penguasa atau
Knight sebagai hal yang wajar meskipun at the expense of the people, karena
keluarbiasaan historis dan kekuasaannya yang bukan berasal dari rakyat.
Onghokham (1983) telah mencoba
mengkaji masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana menurut dia fenomena
korupsi telah ada sejak jaman kerajaan-kerajan di indonesia melalui venality
of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang
mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan
pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse
of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan
serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melakukan hal ini pada
daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa
daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik secara universal maupun
keindonesiaan, korupsi memppunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan
masyarakat, dan makin meningkat seiring dengan upaya pembangunan yang massif
yang menggunakan dana besar dalam bentuk pinjaman Luar Negeri sebagai bagian
inheren bagi hampir semua negara berkembang untuk meningkatkan mutu hidup
masyarakat melalui rezim Developmentalist.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka ada beberapa pertanyaan terkait dengan budaya korupsi dan pendidikan di
Indonesia, yaitu:
1. Apakah korupsi telah menjadi budaya?
2. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
3. Apa saja penyebab korupsi?
4. Apa
kondisi yang kondusif bagi munculnya korupsi ?
5. Apa
akibat/dampak korupsi ?
6. Bagaimana
menanggulangi korupsi ?
7. Apa Peran
Pendidikan dalam menanggulangi korupsi ?
C.
Tujuan Penulisan
Beranjak dari rumusan masalah
tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah supaya:
1. Mengetahui maksud dari korupsi
2. Mengetahui penyebab apa saja yang
mempengaruhi korupsi
3. Mengetahui apa saja kondisi yang
kondusif bagi munculnya korupsi
4. Mengetahui akibat/dampak korupsi
5. Megetahui peran pendidikan dalam
menanggulangi korupsi
BAB II
LANDASAN TEORI
Pengertian
Korupsi
The word corrupt (Middle
English, from Latin corruptus, past participle of corrumpere, to
destroy : com-, intensive pref. and rumpere, to break)
when used as an adjective literally means “utterly broken” Korupsi
(bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah,
korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak para ahli yang
mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara
penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan
yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-diam
kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu
atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan tujuan kekuasaan
asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu
dengan syah.
Wertheim (dalam Lubis, 1970)
menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang
yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang
diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya
atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Sementara itu Alatas (1983)
menyatakan bahwa korupsi secara umum adalah apabila seorang pegawai negeri
menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud
mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi.
Lebih lanjut Alatas menyebutkan tiga fenomena yang termasuk dalam korupsi yaitu
bribery, extortion dan nepotism. Dengan demikian korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus dan kesewenangan terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang/kekuasaan dan kekuatan kekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan/kekuaasaan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan
pribadi dengan mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan
teman.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Budaya
korupsi dan korupsi budaya
Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya
pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan
ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial masyarakat. Moh
Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan
melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek
moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa
modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu
penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi
pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu memperhatikan continuity and
change.
Dalam periode awal pada setiap
daerah/bangsa termasuk Indonesia umumnya melalui fase-fase kehidupan sosial
(August Comte) dari mulai fase teologis, metafisik dan positif. Budaya
dalam arti nilai yang umum dijalankan dalam fase animisme (teologi, metafisik)
guna mengendalikan berbagai kejadian yang merugikan/merusak kehidupan
masyarakat, pemberian sesajen menjadi salah satu instrumen penting untuk
menenangkan dan memperkuat posisi kehidupan manusia, dengan sesajen diharapkan
penguasa supranatural dapat melindungi kehidupan mereka. Nah kalau demikian
apakah manusia berprilaku menyogok (bribery) kepada kekuatan adi kuasa?,
jawabannya bisa ya dan bisa tidak dari sudut pandang individu itu tergantung
niat, namun dari sudut sosial hal itu dimaksudkan sebagai upaya menjaga
keseimbangan kehidupan dengan penguasa supranatural yang dipandang besar
pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
Dengan demikian prilaku menaklukan
atau mengendalikan fihak yang menguasai melalui berbagai upaya
pemberian/sesajen telah menjadi bagian dari nilai kehidupan pada masa
animismen, dan jika demikian maka bentuk bentuk korupsi yang terjadi dewasa ini
bisa saja di rujukan pada budaya tersebut, sehingga masalahnya nampak jadi
kompleks dalam konteks perkembangan dunia modern dewaswqa ini.
Namun demikian, hal yang jelas
adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun merupakan hal yang dapat
menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga
dapat menjadi prilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap atau
sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu
telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi. Dengan
demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi karena
korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian terhadap upaya
mementingkat pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka mempunyai
kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung.
B.
Penjelasan Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah,
korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak para ahli yang
mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara
penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan
yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-diam
kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu
atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan tujuan kekuasaan
asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu
dengan syah.
Wertheim (dalam Lubis, 1970)
menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang
yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang
diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya
atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Sementara itu Alatas (1983)
menyatakan bahwa korupsi secara umum adalah apabila seorang pegawai negeri
menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud
mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi.
Lebih lanjut Alatas menyebutkan tiga fenomena yang termasuk dalam korupsi yaitu
bribery, extortion dan nepotism. Dengan demikian korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus dan kesewenangan terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang/kekuasaan dan kekuatan kekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan/kekuaasaan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan
pribadi dengan mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan
teman.
C.
Penyebab
korupsi
Korupsi selalu terjadi dalam suatu
konteks sosial yang membentuk konsep diri dan definisi situasi seseorang yang
ketika terjadi proses soaial akan mendorng berbagai kecenderungan muncul
sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang terbuka maupun tertutup. Korupsi
cenderung terjadi secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada upaya untuk
menutupinya. Menurut Wang An Shih tokoh besar Cina yang hidup pada aban
11, korupasi terjadi karena buruknya hukum dan buruknya manusia. Yang
pertama terkait dengan atribut kelembagaan (institutional attributes)
dan yang kedua dengan atribut masyarakat (societal attributes), dan secara
lebih rinci Alatas (1983) menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya
korupsi adalah :
1. Ketiadaan atau kelemahan
kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu memberikan ilham dan
mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
2. Kelemahan pengajaran pengajaran
agama dan etika
3. Kolonialisme
4. Kurangnya pendidikan
5. Kemiskinan
6. Tiadanya tindak hukum yang keras
7. Kelangkaan lingkungan yang subur
untuk prilaku anti korupsi
8. Struktur pemerintahan
9. Perubahan radikal
10. Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang
bersifat kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta ada yang bersifat
mandiri dan yang bersifat kausal, namun demikian hal yang dapat dicatat adalah
bahwa menghilangkan penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin korupsi
akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam
kehidupan bangsa.
D.
Kondisi
Yang Kondusif Bagi Munculnya Korupsi
Faktor-faktor penyebab terjadinya
korupsi ada yang bersifat aktual dan potensial dalam arti bisa saja terjadi
perubahan dalam penyebab tidak serta merta dapat menjadi pengurang terjadinya
korupsi karena bila trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan kondisi-kondisi
yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kindisi tersebut mencakup hal-hal
berikut :
1. Konsentrasi kekuasan di pengambil
keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang
sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
3. Kampanye-kampanye politik yang mahal,
dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
4. Proyek yang melibatkan uang rakyat
dalam jumlah besar.
5. Lingkungan tertutup yang
mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
9. Gaji pegawai pemerintah yang sangat
kecil.
10. Rakyat yang cuek, tidak
tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke
pemilihan umum.
11. Ketidakadaannya kontrol yang cukup
untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. (Wikipedia)
Oleh karena itu disamping diperlukan
menghilangkan penyebab-penyebabnya, diperlukan juga upaya mempersempit ruang
gerak atau kondisi yang dapat memicu terjadinya korupsi, agar upaya
pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan signifikan bagi penguatan
kehidupan berbangsa.
E.
Akibat
atau Dampak Korupsi
Meskipun terdapat beberapa pakar
seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas
administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang
melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih
banyak dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial
ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam
Revida (2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang
lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang
lenyap.
2. ketidakstabilan, revolusi sosial,
pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur
pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan
administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961)
menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong
perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan
dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para
ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai
berikut :
1.
Tata
ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan
penanaman modal.
2.
Tata
sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3.
Tata
politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4.
Tata
administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan
pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akibat
korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta
memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945.
F.
Cara
Menanggulangi Korupsi
Kalau korupsi dibiarkan secara terus
menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan
akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang
mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Meskipun
berbagai upaya belum tentu dapat menghilangkan korupsi, tapi paling tidak dapat
menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan
bertanggung jawab dan masif dengan pendekatan simultan. Ada beberapa upaya
penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang
dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan
langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya
dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang
mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang
akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat,
rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi
yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang
secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
Bagaimana dorongan untuk korupsi
dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman. Korupsi adalah persoalan
nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang
harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun
korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural,
barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi
dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas
membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi
menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak,
celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu
halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi,
misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan
tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya,
Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar
pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut
orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan
pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan
hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan
dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan
pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas
pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang
menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam
cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula.
Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju
dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical
problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono
(1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut
memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan
bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang
positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. para pemimpin dan pejabat memberikan
teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk
menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari
organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta
jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai
yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang
non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang
jujur
9. Sistem budget dikelola oleh
pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem
kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang)
terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
G.
Peran
Pendidikan Dalam Menanggulangi Korupsi
Pendidikan merupakan instrumen
penting dalam pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkat
produktivitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa. Terlepas dari
masalah korupsi itu sebagai budaya atau bukan yang jelas peran pendidikan akan
dapat membantu meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan
memberantas korupsi. Buruknya manusia dapat ditranformasikan ke dalam hal yang
positif melalui pendidikan, karena pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan upaya normatif
yang mengacu pada nilai-nilai mulia yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa,
yang dengannya nilai tersebut dapat dilanjutkan melalui peran transfer
pendidikan baik aspek kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan membimbing
manusia menjadi manusia manusiawi yang makin dewasa secara intelektual, moral
dan sosial, dalam konteks ini pendidikan merupakan pemelihara budaya.
Namun demikian dalam konteks perubahan yang cepat dewasa ini pendidikan tidak
cukup berperan seperti itu namun juga harus mampu melakukan transformasi nilai
dalam tataran instrumental sesuai dengan tuntutan perubahan dengan tetap
menjadikan nilai dasar sebagai fondasi.
Dengan demikian secara umum
pendidikan dapat dipandang sebagai upaya preventif bagi berkembangnya sikap dan
prilaku korup meskipun secara empiris jelas tidak cukup mengingat faktor
pressure sosial politik yang dapat juga mendistorsi peran normatif tersebut.
Belakangan ini memang berkembang wacana akan perlunya pendidikan karakter,
namun jika dilihat secara substantif pendidikan kita seperti tertuang dalam Undang-undang
no 20 th 2003 sebenarnya adalah pendidikan karakter, jadi pendidikan karakter
ya pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan karakter
pendidikan bangsa dapat diselenggarakan dengan menjunjung tinggi kemandirian
dan kejujuran, beberapa kasus yang terjadi justru kebijakan pendidikan
tertentu (seperti UN) telah banyak mendorong sikap dan prilaku ketidak
jujuran yang dapat menjadikan orang terbiasa dengan kecurangan yang nota
bene merupakan potensi bagi berkembangnya korupsi atau paling tidak pengabaian
terhadapnya. Dengan demikian pendidikan merupakan sarana atau bisa juga
dipandang sebagai suatu respon yang tepat untuk meningkatkan ketahanan
etika bangsa melalui reformasi sosial yang pada gilirannya dapat menjadi pemicu
bagi terjadinya reformasi kelembagaan, sebab Possible responses to these
underlying causes of corruption include institutional reforms to limit
authority, improve accountability, and realign incentives, as well as societal
eforms to change attitudes and mobilize political will for sustained
anti-corruption interventions. While the handbook offers detailed descriptions
of different types of institutional and societal reforms, a strategy to fight
corruption cannot and need not contain each of the institutional and societal
reforms discussed. Strategy choices must be made after taking into account the
nature of the corruption problem and the opportunities and constraints for
addressing it. Reformasi kelembagaan dapat memagari secara eksternal
kemungkinan prilaku korupsi, dan reformasi masyarakat dapat memagari secara
internal kemungkinan tumbuh dan berkembangnya prilaku korupsi, dan semua
ini dapat memperbaiki hukum (aspek kelembagaan) dan memperbaiki serta
meningkatkan mutu manusia, dalam konteks inilah pendidikan menjadi amat
penting.
BAB III
KESIMPULAN
Korupsi, apakah sudah jadi budaya
atau bukan, adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya, baik dalam bentuk
Bribery, extortion, maupun nepotism. 2. Korupsi menghambat pembangunan, karena
merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita
perjuangan bangsa. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif
dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan
menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan
yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi,
mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan
dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku
pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian
dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi
sosial,dan pendidikan dapat menjadi instrumen penting bila dilakukan dengan
tepat bagi upaya pencegahan tumbuh dan berkembangnya korupsi. Sementara itu
untuk tindakan represif penegakan hukum dan hukuman yang berat perlu
dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya maka aspek individu
penegak hukum menjadi dominan, dalam perspektif ini pendidikan juga akan
berperan penting di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar