ABSTRAK
Menjalankan Link and Match bukanlah
hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak
simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi,
dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran
perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan
kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses
tidaknya program tersebut. Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan
suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan
tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk
mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan
kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui,
keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah
kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan
kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi
dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan
teknologi sepuluh tahun ke depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai
menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di
kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah
mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka
lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh
materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah
yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih
tinggi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak lontaran kritik
terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan
kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga
terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan
lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk
memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga
penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar
dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace
Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga
sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan
SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum
benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran
terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang
sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai
satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir
seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem
pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang
selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut,
penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga
terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan.
Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan
pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem
pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan. Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya
tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka
diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep
Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka ada beberapa pertanyaan terkait konsep link and macth dalam pendidikan,
yaitu:
1. Bagaimana konsep dasar Link and
Match dalam pendidikan?
2. Mengapa Link and Match itu diperlukan
dalam pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan apa saja yang
digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan?
4. Bagaimana hubungan antara pendidikan
dan ketenagakerjaan?
C. Tujuan
Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah
tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah untuk:
1. Mengetahui konsep dasar Link and
Match dalam pendidikan
2. Mengetahui perlunya Link and Match
dalam pendidikan
3. Mengetahui Pendekatan-pendekatan apa
saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan
4. Mengetahi hubungan pendidikan dan
ketenagakerjaan
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada mulanya, sebelum ada pendidikan
melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan
langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri
pertanian dengan langsung bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung
mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang dewasa menangkap
ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga
belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan
pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya merupakan
sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung
berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum
mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya sesalu bersifat linked
and matched.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Link and Match
Konsep keterkaitan dan kesepadanan
(Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan
Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan
jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin
bertambah. Selanjutnya Soemarso, Ketua
Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and
Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada
keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso,
dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match
dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga
mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang
adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian
repotnya. Di sisi lain, produk dari
Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya
sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja
laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik oleh industri di
Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat
konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah
hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak
simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi,
dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran
perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan
kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses
tidaknya program tersebut. Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan
suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan
tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk
mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan
kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui,
keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah
kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan
kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi
dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan
teknologi sepuluh tahun ke depan. Seharusnya
perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja
sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan
perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka
lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh
materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah
yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih
tinggi.
Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus
menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia
menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan
magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya
siap secara teori tetapi juga siap secara praktik. Jika program Link and Match
berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran
(terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim
keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia
kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan
semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari
pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake
holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai
bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada menerima
bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah
utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa
perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan
Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match
(keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka. Secara tradisional teori
kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik.
Banyak orang berpendapat bahwa sisi
afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh
Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti
rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan
dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan
identitas diri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah
mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu
proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses
belajar sesudah pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130).
B. Pendekatan
dalam Mewujudkan Link and Match
1. Pendekatan
Sosial
Pendekatan sosial merupakan
pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan
ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan
dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan
sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan
menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk
memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan
orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh
penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya sistem ganda melalui kebijakan
Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan
sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan masalah yang berhubungan
dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial dari kehidupan individu
untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan yang dikemukakan Geruge
ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk
memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada
tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor
pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk
menampuk seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial dalam perencanaan
pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara tepat dalam
Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963 dengan alasan
pemilihan pendektan ini bahwa: ”all young person qualified by ability and
attaint ment to pursue a full time course in higher education should have the
opportunity to do so” (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada
beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan ini mengabaiakan masalah
alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya
sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa penggunaan
sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini mengabaiakn kebutuhan
ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga
dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
3. Pendekatan ini cenderung hanya
menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari
pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).
2. Pendekatan
Ketenagakerjaan
Pendekatan yang dipakai dalam
penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada
kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau timbul
pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan
dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode pembangunan dalam satu
negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan lima tahunan), disana
tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor
pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi
sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun atau bisa dikatakan sebagai
kebijakan awal perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan
ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan
nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja
memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis
keahlian. Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan
mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan,
baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch,
1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan
jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan
nasional. Dalam hal ini perencana
pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus
murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan
tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu
ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang
bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan
kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang telatih yang
diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau ratio yang seimbang,
misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan ketenagakerjaan ini
sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara
yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian
yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru
dengan sendirinya mendorong teknologi untuk berkembang secara pesat dan hal ini
menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk
menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang mempergunakan
pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara
teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala
bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan
lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja
akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah
ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti
penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk
merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap
individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke
masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif.
Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai
tingkat dan jenis yang siap pakai. Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja
(manpower approach), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung dari jumlah
pendapatan nasional yang direncanakan atau yang diperhitungkan akan dicapai.
Dengan kata lain, anak didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan menjadi
tenaga kerja, dan perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja harus
diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam perencanaan ekonomi. Jadi, dal;am
merencanakan keprluan tenaga kerja, perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap
sebagai variabel yang independen karena dianggap sebagai tujuan atau target
yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan
kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah
pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi
yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem pendidikan
yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata dari pertumbuhan
ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien
dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem
pendidikan. Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan
sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang
ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan
diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi
(Sindhunata, 2001: 17).
Dalam teorinya pendekatan ini lebih
mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan
kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana
ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
1. Mempunyai peranan yang terbatas
dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan
sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini
lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio
permintaan dan persediaan
3. Tujuan dari pada pendekatan ini
hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia
kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006:
59).
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa
masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki
sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya
peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan,
peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapangan kerja, sempitnya
lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja
yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan
pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan lulusan
yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan
yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan
ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu di belajarkan pada pendidikan formal
yang ada sekarang ini. Perencanaan
pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial juga menggunakan
pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga
pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak mungkin
pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kenyataannya
masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan
dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan pokok antara lain
sebagai berikut:
a. Belum tersedianya data dan informasi
yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan berapa banyak
lapangan kerja yang ada menurut jenisnya; berapa jumlah tenaga kerja menurut
pendidikannya yang dapat diserap; bagaimana pengembangan usaha/lapangan kerja
ini di masa mendatang dan bagaimana proyeksi tenaga kerja yang akan dibutuhkan;
dan sebagainya.
b. Perencanaan pendidikan, bila ingin
menggunakan pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan data dan proyeksi
kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain perkiraan akan kebutuhan
tenaga kerja, juga masih diperlukan persyaratan yang jelas mengenai mutu tenaga
yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja atau kualifikasi lulusan lembaga
pendidikan yang menjadi persyaratan untuk masing-masingjenis pekerjaaan.
c. Walaupun sekiranya data dan
informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai, namun hambatan itu akan
tetap masih ada terutama dalam hal pengadaan tenaga kerja itu sendiri melalui
pendidikan formal. Penyebab utama ialah ketidakmampuan sistem pendidikan
nasional untuk mengadakan penyesuaian dengan berbagai ragam kebutuhan akan
keahlian dan kemampuan lulusannya (Jusuf Enoch, 1992: 93-95).
Pemerintah tidak mungkin secara
cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk mempersipakan lulusan
yang siap pakai memasuki lapangan kerja yang sudah menunggu. Hal ini bukan
disebabkan biaya yang tidak mendukung, tapi lebih dari itu pengadaan tenaga
instruktur yang berkualifikasi baik, pengadaan lat dan ryang praktek yang
memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas lainnya sungguh memerlukan
waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu, kurikulum harus disesuaikan dengan
kebutuhan pasar. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Putu Pendit bahwa
"kurikulum harus memenuhi kebutuhan lapangan". Kurikulum, sebagai
bagian dari pendidikan, bukan semata-mata memenuhi permintaan tenaga kerja di
saat ini. Kurikulum sebagai alat dari pendidikan harus mengandung di dalamnya
upaya menyiapkan peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang berlaku
jauh lebih lama daripada perkembangan terakhir atau peristiwa sesaat.
C.
Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan
penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya
manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi
bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja,
semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan
bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena
pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa
pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika
setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga
tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital
ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi
individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur
keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan
teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain
sebagainya.
Namun dalam kenyataannya,
asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal
ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata
menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara
berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil
terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal
dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah. Teori Human Capital dianggap
tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori
sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur
masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan
perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk
mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih
tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu
lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas)
yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas,
masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang
diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam
kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1).
Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga
kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang
tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil
tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan
atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu
sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human
Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan
lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis
pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi
kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting
ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia
industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan
lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah
tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil
tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan
teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang
lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja
baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan
potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara
memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan
kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak
bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat
terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin
bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara
pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian,
hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu
ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai
gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah
dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai
dengan kebutuhan pasar. Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap
sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut
tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi
lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal.
Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri
dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan
bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan.
Dalam hubungan dengan hal tersebut,
dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau
perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja
secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan
ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap
pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus
mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang
dapat dikembangkan lebih jauh di dunia kerja. Sekat-sekat yang ada antara
pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini,
setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri
modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan
pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178).
Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi
sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program
pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi
SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan
berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan
selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah
pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok
tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam
memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah
ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji
kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang
dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja
dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidikan
pekerja. Terjadinya kelebihan persediaan
tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya
lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur
tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga
kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang
menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi
akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply
dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan
dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga
kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum
dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini
terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang.
Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan
pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya
lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas
kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data
pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin
tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran;
2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga
kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya
semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda
dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply
dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya,
karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi.
Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian
yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada
tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran
di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang
dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand
(permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang
dihasilkan masih rendah. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan
tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan
yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia
lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan
pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja
yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak
sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun
yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah
pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan
kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran
terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah
pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya
sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur
mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah
orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para
penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam
dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini
belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih
melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di
tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi.
Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja
yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan
pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta
orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka
pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data
sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari
jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap
jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh
hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan
tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya
krisis moneter.
ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di
Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang
mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan
mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari
persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja
berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja
terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang
sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak
yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu faktor yang mengakibatkan
tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga
kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan
pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran
terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari
pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi
pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu
sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita
adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk
profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan
kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan
seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa
menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih
diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada
kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk
pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau
menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki
kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam
memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para
siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih
kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam
penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang
pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam
melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan
perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah
yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya
manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi
gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas
tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar
tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita
tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit
bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di
kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di
Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya
rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi
eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi
permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai
ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang
muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Sebagai solusi
pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap
penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya
produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi
semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran
menjadi komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan
makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam
beberapa poin:
1. pengembangan mindset dan wawasan
penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki
potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara
optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan
potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai
dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas. Kepribadian yang
matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani
mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan
utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif
dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang,
kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan
bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung
jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui
kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu.
2. melakukan pengembangan
kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas
dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka
lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
3. segera membangun lembaga sosial yang
dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan
pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang
terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu,
setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian
khusus.
4. menyederhanakan perizinan karena
dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik
Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi
masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas
dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan
lapangan kerja baru.
5. mengaitkan secara erat (sinergi)
masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti
sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya,
terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik
yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah
untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke
wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan.
Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
6. mengembangkan suatu lembaga
antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center
dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan
menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain
sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak
(software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan
sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
7. menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap
pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil
(skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan
Daerah. Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan,
keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah
Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya
badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang
kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di
negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang
pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
8. penyempurnakan kurikulum dan sistem
pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat
menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya
dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan
nasional perlu direstrukturisasi. Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi
berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
9. upayakan untuk mencegah perselisihan
hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini
sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas,
penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya,
bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya
bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
10. segera mengembangkan potensi
kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak
geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang
sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu
dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan
remuneratif.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Konsep
Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan
antara lembaga pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn kata lain Link and
Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya.
Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja
dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2.
Dengan
link dan match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan
kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar
mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau
melakukan riset ke dunia kerja. Denagn adanya Link and Match tersebut Perguruan
Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia
kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu,
Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian
(kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke
depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinggi harus menjalin relasi dan
menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar
kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the
spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi
juga siap secara praktik.
3.
Adapun
pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan
social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan
yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik
beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan
pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan
pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi
tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan
kepada murit dan orang tua secara bebas.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
4.
Pendidikan
formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik
temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja,
dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi
produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang
menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
5.
Salah
satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan
yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai
rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh,
dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang
sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik
yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar